Pages

Jumat, 06 Juli 2012

 KURIKULUM PENDIDIKAN INDONESIA

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Banyak pertanyaan yang terlontar dari berbagai kalangan “ Mengapa kurikulum di negara kita sering berubah? ”. Dan banyak juga pernyataan yang merupakan jawaban sinis dari pertanyaan di atas, ” Biasa, ganti Menteri Pendidikan, ya ganti kurikulumnya”.
Benarkah demikian ?


Mari menyimak sejenak secara global tentang perjalanan sejarah kurikulum kita. Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan berturut-turut, yaitu pada tahun 1947, tahun1952, tahun1964, tahun1968, tahun1975, tahun1984, tahun1994, dan tahun2004, serta yang terbaru adalah kurikulum tahun 2006. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun yang jelas, perkembangan semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan  perbedaannya terletak pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam mengimplementasikannya.

Dimulai pada tahun 1947, saat itu kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Peladjaran 1947  (sebutan kurikulum saat itu) merupakan pengganti sistem  pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.

Pada tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, dengan menggunakan sebutan Rentjana Peladjaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Menjelang tahun 1964, dilakukan kembali penyempurnaan sistem kurikulum di Indonesia, yang hasilnya dinamakan Rentjana Pendidikan 1964.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan, dan jasmani.

Dari Kurikulum 1964 diperbaharui menjadi kurikulum 1968,  dalam hal ini terjadi  perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Sebagai pengganti kurikulum 1968 adalah kurikulum 1975.  Dalam kurikulum ini menggunakan pendekatan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), mengarah kepada tercapainya tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa. Dalam pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

Menjelang tahun 1983, kurikulum 1975 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan IPTEK. Sehingga dipertimbangkan untuk segera ada perubahan. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 dengan kurikulum 1984.

Kurikulum 1984 berorientasi kepada tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.

Pada tahun 1993, disinyalir bahwa pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar yang  kurang memperhatikan muatan pelajaran, sehingga lahirlah sebagai penggantinya adalah kurikulum1994.                                                     
Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi). Dalam pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial.Untuk  mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan. Dan dalam pengajaran suatu mata pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya adalah beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran.  Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan adalah diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994.

Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Dengan dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sehingga sebagai konsekuensi logis harus terjadi juga perubahan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan, maka bersamaan dengan hal tersebut terjadilah perubahan lagi pada kurikulum pendidikan.
Kurikukum yang dikembangkan pada tahun 2004 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu KBK sebagai pedoman pembelajaran.

Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002a). Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut.
(1) Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
(2) Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
(3) Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
(4) Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
(Puskur, 2002a).
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum.
KBK berorientasi pada:
(1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan
(2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya
(Puskur, 2002a).
Rumusan kompetensi dalam KBK merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten. Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
pemilihan kompetensi yang sesuai; spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi; pengembangan sistem pembelajaran.
KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
•    Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
•    Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
•    Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
•    Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
•    Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.(Puskur, 2002a).
•    Struktur kompetensi dalam KBK dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa.
•    Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan
semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun      dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
•    Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level.
•    Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”.
•    Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
•    Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator.
•    Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?”.
•    Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.
Dalam pelaksanaan KBK dilakukan dengan menggunakan sistem uji terbatas pada sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project.
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan,(7) standar pembiayaan, dan (8)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi, yaitu:
•    Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
•    Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
•    Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
•    Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
•    Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikan sesuai karakteristik Satuan Pendidikan dan keberadaannya, dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajarannya.

Dihimpun dari berbagai sumber yang relevan,
oleh tim Kurikulum Sekolah Gamaliel Makassar
Sumber: sekolah tinggi makasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.